Pemerhati pendidikan semakin keras menentang penggunaan hukuman fisik sebagai bagian dari kegiatan belajar mengajar (KBM) di sekolah. Menurut mereka, hukuman fisik tidak hanya tidak efektif dalam mendisiplinkan siswa, tetapi juga melanggar hak-hak asasi manusia.
Hukuman fisik seperti pukulan, tendangan, atau memaksa siswa untuk berdiri dalam posisi tertentu telah lama menjadi praktik yang kontroversial di beberapa sekolah di Indonesia. Namun, banyak ahli pendidikan dan aktivis hak asasi manusia telah menekankan bahwa pendekatan ini tidak hanya tidak membantu dalam membentuk karakter dan perilaku positif siswa, tetapi juga dapat menyebabkan trauma dan dampak negatif lainnya.
Menurut pemerhati pendidikan, pendekatan yang lebih efektif dalam mendisiplinkan siswa adalah dengan mengedepankan pendekatan yang positif, seperti memberikan pujian, reward, atau hukuman non-fisik seperti tugas tambahan atau penugasan khusus. Selain itu, penting juga untuk membangun hubungan yang baik antara guru dan siswa, sehingga siswa merasa didengar dan dihargai.
Selain itu, hukuman fisik juga bertentangan dengan prinsip-prinsip pendidikan yang menekankan pada pembentukan karakter yang baik, kemandirian, dan keadilan. Dengan menggunakan hukuman fisik, siswa tidak diajarkan untuk memahami kesalahan mereka dan memperbaiki perilaku mereka secara positif.
Oleh karena itu, pemerhati pendidikan menyerukan kepada pemerintah dan semua pihak terkait untuk melarang penggunaan hukuman fisik sebagai bagian dari KBM di sekolah. Sebagai gantinya, diperlukan pendekatan yang lebih humanis dan menghargai martabat siswa, sehingga mereka dapat tumbuh dan berkembang secara positif.